Komunisme adalah anak kandung zionisme. Hampir semua tokoh komunisme Uni Sovyet adalah Yahudi, sisanya non-Yahudi yang telah menjadi antek-nya. Lenin dan Stalin adalah Yahudi. Demikian juga dengan Leon Trotsky.
Sebelumnya Trotsky adalah seorang pelarian di Amerika. Menjelang Revolusi Bolshevik ia kembali ke Rusia dengan menyamar. Di tasnya ia membawa jutaan rubbel pemberian para bankir Yahudi di Amerika yang kemudian ia gunakan untuk mendanai revolusi komunis. Puluhan juta rubbel dan puluhan kg emas lainnya diterima Lenin dan Stalin dari para bankir Yahudi Amerika.
Setelah Kematian Lenin, Trotsky terlibat perselisihan dengan Stalin memperebutkan kursi kepemimpinan Sovyet. Ia kalah dan melarikan diri. Awalnya ia ingin kembali ke Amerika, namun ditolak orang-orang Yahudi Amerika karena akan membuka kedok hubungan komunisme dengan zionisme. Lagipula hal ini akan membuka aib memalukan bagi komunisme karena bagaimana mungkin seorang tokoh komunis tinggal di negara kapitalis Amerika. Maka ia hanya bisa mencapai Mexico. Namun karena dianggap sudah tidak berguna dan ditakutkan membuka aib, ia pun dibunuh. Media massa menutup-nutupi pembunuhan ini dengan menuduh agen-agen Stalin sebagai pembunuhnya.
Lain Rusia lain pula Spanyol. Di Spanyol (seperti juga Indonesia), komunisme yang sempat menggenggam kekuasaan, akhirnya tumbang setelah rakyat yang sadar dengan kekejian komunis, memberontak. Pemberontakan dimulai bulan Juli 1939 di bawah kepemimpinan Jendral Franco yang didukung oleh sebagian besar kalangan militer, gereja Katholik Spanyol, pengusaha dan professional serta sebagian pekerja.
Pada awalnya pemberontakan yang berlangsung di ibukota Madrid digagalkan oleh pemerintahan Republik Sosialis yang berfaham sosialis-komunis. Sebagian pemberontak melarikan diri ke Toledo, 40 mil barat daya Madrid dimana terdapat sebuah benteng yang menjadi markas akademi militer. Bersama para taruna militer dan didukung penduduk Toledo, para pemberontak nasionalis mempertahankan diri di dalam benteng yang dikenal sebagai benteng Alcazar. Mereka semua dipimpin oleh komandan akademi militer, Kolonel Moscardo.
Saat itu Toledo merupakan daerah kaum nasionalis yang dikelilingi oleh wilayah yang dikuasai kaum sosialis-komunis. Tidak ingin pemberontak mengkonsolidasi kekuatan, kaum komunis segera mengirimkan pasukan besar untuk menumpas pemberontakan di Toledo. Di antara pasukan komunis terdapat tentara milisi-milisi komunis internasional, termasuk para penasihat militer dari Uni Sovyet. Dalam hitungan hari, benteng Alcazar telah dikepung ketat oleh komunis.
Suatu hari putra Kolonel Moscardo yang menjadi taruna militer, tertangkap oleh pasukan komunis. Mengetahui tawanannya adalah putra kesayangan sang Kolonel, orang-orang komunis memberi ultimatum kepada Kolonel Moscardo: menyerah atau putra kesayangan dieksekusi mati. Untuk meyakinkan ancamannya, kaum komunis menelepon sang Kolonel dan membiarkan Kolonel berbicara langsung dengan sang putra.
Bukannya merengek minta diselamatkan, sang putra berteriak lantang: "Jika Bapak menyerah kepada musuh rakyat Spanyol hanya untuk menyelamatkan saya, saya tidak akan mengakui lagi Bapak sebagai orangtua saya!" Kolonel Mascardo, sembari menitikkan air mata membalas: "Matilah sebagai ksatria Spanyol anakku!" Telepon yang digunakan Kolonel Mascardo dan putranya masih disimpan sebagai benda sejarah saat ini.
Selama dua bulan para pemberontak nasionalis yang dibantu penduduk lokal berhasil memukul mundur setiap serangan para musuhnya. Namun kemudian orang-orang komunis mengirimkan unit pasukan spesialis bom untuk menghacurkan benteng. Mereka membuat lobang di bagian bawah benteng dan menempatkan sejumlah besar dinamit di dalamnya, dan meledakkanya. Satu bagian benteng pun runtuh dan pasukan komunis dapat menerobos ke dalam benteng. Perang jarak dekat pun terjadi dengan sengit, gedung ke gedung, lantai ke lantai, ruangan ke ruangan.
Sementara itu Jendral Franco dan pasukannya tengah dalam perjalanan mendekati ibukota Madrid. Mendengar berita pertempuran benteng Alcazar, ia dilanda sebuah dilema besar. Membiarkan Alcazar jatuh bersama ribuan defender-nya termasuk wanita dan anak-anak warga Toledo, atau mencegahnya. Jika pilihan pertama yang diambil, ia akan dapat menguasai Madrid dan selanjutnya dapat menumpas kaum komunis di daerah-daerah dengan harga ribuan nyawa kaum nasionalis Toledo. Namun jika ia mencegah kejatuhan Alcazar, ia harus mengendorkan tekanan terhadap Madrid sehingga kaum komunis dapat mengkonsolidasi diri.
Franco memilih untuk mencegah kejatuhan Alcazar dan mengirimkan sebagian pasukannya ke Toledo. "Ini menyangkut kehormatan tentara Spanyol. Kita tidak bisa meninggalkan Moscardo dan para pahlawannya sebagaimana para wanita dan anak-anak menghadapi maut," kata Franco. Pada tanggal 27 September 1936 kepungan atas benteng Alcazar berhasil dihancurkan pasukan Jendral Franco yang dipimpin oleh Jendral Jose Varela.
Kemenangan di Toledo meningkatkan reputasi Jendral Franco, namun juga menghambat kemenangannya atas ibukota Madrid. Bantuan asing telah mengalir ke Madrid terutama dari Uni Sovyet untuk membantu penguasa sosialis-komunis. Di sisi lain Franco juga mendapat dukungan kuat dari Hitler dan Mussolini, pemimpin Jerman dan Italia yang anti-Yahudi.
Banyak anak buanya yang menyalahkan keputusan tersebut sehingga perang sipil Spanyol harus berakhir berbulan-bulan. Namun Franco bersikukuh keputusannya menomor satukan kehormatan daripada kemenangan adalah keputusan yang tepat. Terbukti Franco berhasil menyatukan Spanyol dan menjadikan Spanyol negeri yang stabil ekonomi dan politiknya selama 30 tahun.
Pada saat terjadi Perang Dunia II Franco memainkan peranan cantik. Meski secara moril mendukung Hitler dan Mussolini, secara resmi ia memilih berdiri netral. Bentuk dukungan moril itu diberikan Franco dengan mengirim pasukan sukarela Divisi Biru ke pihak Jerman. Komandan pasukan Divisi Biru adalah Jendral (sebelumnya Kolonel) Moscardo.
Sumber : Cahyono adi.blogspot
Tidak ada komentar:
Posting Komentar