Tidakkah Anda heran dengan "fenomena" mundurnya para penasihat yahudi Presiden Barack Obama? Mereka adalah penasihat masalah lingkungan hidup Van Jones, penasihat ekonomi Laurence Summers dan Christina Romer, direktur anggaran Gedung Putih Peter Orzsag, penasihat keamanan Jendral Jones, penasihat politik David Axelrod, serta orang paling dekat Obama setelah istrinya yang diangkat sebagai kepala staff gedung putih, Rahm Emmanuel.
Mengingat "orang dalam Gedung Putih" adalah asset paling berharga orang-orang yahudi dalam mengendalikan negara Amerika, mundurnya orang-orang itu tentunya menimbulkan pertanyaan besar. Apalagi jika disertakan pula fakta mengejutkan lainnya, tidak hadirnya delegasi Israel saat Barack Obama berpidato di depan Sidang Umum PBB bulan lalu. Ada apa dengan ini semua?
Para analis politik cerdas dengan cepat akan menyimpulkan, orang-orang yahudi tengah memberikan pesan peringatan kepada Obama: kami, orang-orang yahudi telah meninggalkan Anda, dan Anda tanggung sendiri akibatnya nanti! Tidak lama setelah peringatan itu Obama sudah merasakan dampak pahitnya: sebuah acara seremonial di Gedung Putih menjadi kacau balau karena sistem komputer yang digunakan untuk mengecek identitas para tamu undangan tidak bekerja dengan benar. Boleh taruhan, sistem komputer itu dibuat di Israel sebagaimana sistem keamanan bandara-bandara dan pelabuhan-pelabuhan di Amerika.
Namun tentunya konsekwensi pahit tidak akan sesederhana itu. Boleh jadi ia akan seperti Bill Clinton yang menjadi bulan-bulanan media massa dan aparat penegak hukum karena skandal seksnya dengan Monica Lewinsky (seorang wanita yahudi, sangat boleh jadi agen Mossad) dibongkar. Atau seperti Presiden Nixon yang dipaksa mundur setelah rekaman teleponnya disadap dan dibocorkan ke media massa. Namun paling serius adalah seperti Presiden Kennedy atau beberapa presiden Amerika lainnya yang ditembak mati dan diracun.
Baik Bill Clinton, Nixon maupun Kennedy mendapatkan perlakuan tersebut di atas karena telah "melewati batas" kepentingan Israel. Bill Clinton terus mendesak Israel untuk menaati Perjanjian Oslo yang mewajibkan Israel mengembalikan wilayah-wilayah pendudukan, menghentikan pembangunan pemukiman yahudi serta mengakomodasi pembentukan negara Palestina. Nixon adalah seorang presiden yang dianggap sangat anti-semit. Sedangkan Kennedy, selain memaksa Israel menghentikan program nuklirnya juga telah mengeluarkan perintah kepada departemen keuangan untuk mencetak uang kertas sendiri berdasarkan cadangan emas dan perak pemerintah, terlepas dari uang kertas buatan bank sentral milik para bankir bandit yahudi.
Lalu apa kesalahan Barack Obama? Tak lain karena ia terus mendesak Israel untuk menghentikan pembangunan pemukiman yahudi di wilayah pendudukan (hal yang sangat rasional. Bagaimana mungkin seorang penengah bisa dipercaya jika membiarkan satu pihak yang bersengketa terus menerus melakukan pelanggaran terhadap pihak lainnya). Sebab lainnya adalah keengganannya melakukan tindakan lebih keras (militer) atas program nuklir Iran. Hal ini sekali bukan tanpa dasar. Beberapa aksi demonstrasi di Israel diwarnai dengan aksi pengutukan terhadap Obama dan menyebutnya sebagai "Fir'aun Baru". Seorang pejabat tinggi Israel bahkan menyebut Obama sebagai: "keturunan budak yang tidak tahu diri dan harus disadarkan dengan lecutan cambuk".
Mungkin Anda mengira semua berita itu berlebihan. Tidak sama sekali. Saat wapres Joe Biden berkunjung ke Israel beberapa waktu lalu, seorang menteri "meludahi mukanya" dengan membuat pernyataan provokatif bahwa Israel akan meneruskan pembangunan pemukiman yahudi di wilayah pendudukan. Ketika Biden mengunjungi museum holocoust, tiba-tiba lampu dimatikan. Dan terakhir yang paling kasar adalah tindakan provokatif Perdana Menteri Nethanyahu dengan merusak cindera mata yang sedianya akan diberikan kepada Biden.
Bangsa yahudi telah belajar bahwa menempatkan orang-orangnya di pusat-pusat kekuasaan adalah satu langkah strategis untuk meraih kekuasaan. Mereka telah belajar dari Nabi Yusuf di jaman Fir'aun Mesir, atau Esther di jaman Cyrus Agung di Persia. Meninggalkan posisi-posisi strategis sebagaimana Rahm Emmanuel dkk di Gedung Putih, tidak mungkin dilakukan kecuali mereka telah tahu bahwa "sesuatu yang besar" akan segera terjadi.
sumber ; cahyono adi.blogspot
Tidak ada komentar:
Posting Komentar