Bapak Ragil, begitulah orang memanggilnya. Nama lengkap beliau adalah Agustinus Sri Urip Ragil Wibowo, dilahirkan di Purworejo 12 Maret 1966 dari keluarga pendeta, sedangkan isterinya Ana Maria Dalena dari keluarga pastur. Tak heran jika mereka sangat fanatik terhadap ajaran Kristen yang dianutnya. Kegigihannya dalam menjalankan misi kristenisasi tidak perlu diragukan lagi, sebab beratus-ratus bahkan beribu-ribu orang Islam pernah dimurtadkannya. Lelaki yang pernah mengikuti pendidikan di Missionairy Training Centre di Jepang dan Jerman ini menceritakan pengalamannya hingga ia mantap memeluk Islam sebagai agamanya.
KALAH BERDEBAT
Pengalaman ini berawal saat saya menjalankan misi kristenisasi yang berkedok program Kesejahteraan Masyarakat pada tahun 1978 dibawah pimpinan seorang tokoh Kristen terkenal di Yogyakarta yang belum lama meninggal (nama dirahasiakan oleh Hidayah). Walau program ini seringkali tersendat karena persoalan dana sehingga terhenti untuk beberapa saat, namun pada tahun 1988-1989 program ini dimulai kembali dan saya terlibat penuh didalamnya. Namun sekali lagi program yang sarat dengan misi kristenisasi ini pun harus gulung tikar untuk sementara waktu karena alasan yang sama. Sampai akhirnya pada tahun 1993-1995 program ini hidup kembali setelah pengelolaannya diserahkan oleh tokoh tersebut kepada saya.
Dibawah komando saya, program ini terbilang sangat sukses, banyak orang Islam yang telah kami murtadkan dengan iming-iming bantuan sosial. Hingga pada saat kami menjalankan program dengan nama Income Generating Project di kecamatan Panggang dan kecamatan Rongkop, saya mendapatkan sepucuk surat dari dari salah seorang tokoh dan pemuka agama Islam setempat yang bernama Bapak Drs. Jalal Muhsin. Didalam surat tersebut diungkapkan, bahwa kami dipersilahkan untuk membantu masyarakat miskin jika benar misi yang kami jalankan itu murni misi sosial, sedangkan Bapak Jalal Muhsin sendiri akan menggarap bidang akidah sesuai dengan yang dianut oleh masyarakat setempat yaitu Aqidah Islamiyah.
Surat yang berisi teguran halus ini saya tanggapi serius dengan meminta waktu untuk bertemu Bapak Jalal guna berdialog seputar akidah masing-masing. Akhirnya pada tanggal 23 Mei 1993 dialog pun dimulai disebuah rumah milik warga setempat. Dialog berlangsung selama tiga bulan yang mengupas seputar kebenaran al-Kitab, ajaran trinitas dan masalah-masalah ketuhanan, namun kami belum menemukan titik temu.
Karena tidak adanya titik temu inilah, akhirnya kami berdua membuat surat perjanjian yang berisi komitmen bersama, bahwa siapapun yang kalah dalam perdebatan, harus rela meninggalkan keyakinan agamanya dan masuk mengikuti agama yang memenangkan perdebatan. Perdebatan demi perdebatan telah kami lalui hingga pada akhirnya saya mengaku kalah. Menurut saya, apa yang diungkapkan oleh Bapak Jalal Mukhsin ini ternyata semua ada dalam al-Kitab. Setelah mengaku kalah dalam berdebat, saya pun akhirnya masuk Islam. Ikrar syahadat saya lakukan di KUA-Menteri Jeron Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 29 November 1993 dan dipimpin langsung oleh Bapak Jalal Mukhsin.
MENGHADAPI BADAI UJIAN
Setelah masuk Islam, saya mengganti nama menjadi Muhammad Abdullah Syahid. Konsekwensi dari keputusan saya ini, saya harus rela dibenci oleh keluarga dan jemaat saya, diputus hubungan keluarga, diusir dari rumah dan digugat cerai oleh sang isteri tercinta. Ancaman fisik dan teror gelap pun sering berdatangan menghiasi hari-hari baru saya. Untuk menyelamatkan akidah dan jiwa saya, saya harus rela hijrah ke Sumatera selatan pada akhir tahun 1993 dengan meninggalkan isteri dan anak-anak saya. Untuk biaya hijrah ke Sumsel, saya menjual gereja yang saya dirikan di Jl. Wates km 9 Yogyakarta kepada Bapak Jalal Mukhsin dengan harga satu juta untuk saat itu.
Di Sumatera saya tinggal di rumah seorang Kepala Desa Karang Agung Simpang Sumatera Selatan dan menjadi bujangan (karyawan) Pak Lurah untuk mengurus kebun dan lainnya. Kemudian saya dipercaya untuk menjadi Sekretaris Desa (Sekdes) dan diresmikan di hadapan masyarakat setempat menjadi adik angkat Bapak Kepala Dusun (Kadus). Selama berada di Sumatera Selatan (1993-1998) saya banyak aktif diberbagai ormas dan lembaga kemasyarakatan seperti aktif di HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) sebagai pembina Kuntum HKTI untuk wilayah Sumsel, menjadi ketua LKMD dan kepala sekolah SMEA persiapan AMPI.
Namun karena kerinduan kepada anak-anak dan isteri, saya memutuskan untuk kembali ke Yogyakarta pada tahun 1998. Saya mencoba mengajak isteri tercinta untuk masuk Islam, tetapi keinginan itu belum membuahkan hasil, karena untuk bertemu isteri dan anak-anak saja dibatasi, semua dijadwal oleh pihak gereja. Dengan usaha yang ulet akhirnya isteri saya memutuskan untuk ikut masuk Islam pada tanggal 23 Maret 1998. Hal itu dilakukan semata-mata demi masa depan anak-anak. Karena jika isteri menolak untuk masuk Islam, maka anak-anak akan saya bawa ke Sumatera.
Karena ketahuan masuk Islam, saya beserta isteri dan anak-anak diusir dari rumah mertua pada jam sepuluh malam disaat hujan turun. Kami pergi tanpa arah dan tujuan yang pasti, sampai akhirnya kami menemukan bekas warung yang berdindingkan gedhek (pagar bambu) yang bocor dan sangat kumuh di Jl. Wates km. 9 diwilayah dimana saya mendirikan gereja. Karena keadaan yang sangat mengenaskan ini, anak dan isteri saya sering menangis meratapi kepedihan hidup yang kami hadapi demi mempertahankan keimanan. Padahal pada saat saya dan isteri aktif menjadi pendeta dan misionaris, kami sangat bahagia dengan fasilitas dan gaji masing-masing yang tidak kurang dari 15 juta perbulannya. Namun kini semua berbalik 180 derajat. Bahkan pakaian yang kami miliki sudah tidak layak dipakai lagi karena jamuran terkena hujan akibat rumah gedhek yang bocor.
MEMULAI HIDUP BARU
Cobaan demi cobaan datang silih berganti, mungkin inilah sebagai ujian keimanan seperti yang dijelaskan oleh Allah swt. Setelah mendapatkan tempat bernaung yang sangat kumuh, saya menjual sepeda motor tua untuk membeli alat-alat dapur dan mesin jahit untuk isteri. Karena mencari pekerjaan sangat susah, maka saya rela menjadi penjaga gudang, sesuatu yang tak pernah terbayangkan dibenak saya. Kondisi ini sangat bertolak belakang dengan kondisi saat saya masih aktif menjadi pendeta dengan fasilitas dan gaji yang besar. Namun semuanya saya jalankan demi mendapatkan nafkah buat anak dan isteri.
Tetapi alangkah bersyukurnya saya ketika Bapak Sukadiono, Kepala sekolah SD Muhammadiyah 3, dan Bapak Ikhwan Ahada salah seorang guru disana membantu meringankan beban kami dengan menyekolahkan kedua puteri saya disekolah tersebut tanpa dipungut biaya sepeserpun. Untuk mencari tambahan nafkah buat keluarga, dengan kemampuan yang saya miliki, saya mencoba ikut lomba cipta lagu yang diselenggarakan oleh BP7 yang bekerja sama dengan para musisi Yogyakarta. Pada lomba ini saya mendapatkan juara I dan berhak memperoleh hadiah Rp. 2.500.000. Hadiah sebesar itu saya bagi dua dengan pembuat aransemennya. Usaha yang sama juga saya ikuti pada saat lomba cipta lagu untuk menyambut Muktamar Muhammadiyah ke 44 di Jakarta, dan alhamdulillah saya dapat meraih juara I dan berhak mendapatkan hadiah 3 juta rupiah. Namun karena kebutuhan hidup yang kian mendesak, sementara untuk makan saja masih susah, maka pada tahun 1999 saya membuka usaha ternak ayam potong untuk dijual.
RAJIN BERDAKWAH
Sekalipun telah masuk Islam, saya belum tahu apa itu Islam yang sesungguhnya. Sebab saya menyadari bahwa saya masuk Islam karena kalah berdebat, sehingga saya sering bertanya tentang apa itu Islam. Sampai akhirnya saya bertemu dengan seorang pendeta senior Bapak Rudi, rekan saya pada saat sama-sama aktif di gereja yang telah terlebih dahulu masuk Islam. Mantan pendeta Rudi mengamanatkan kepada saya agar melanjutkan misi dakwahnya, sebab kata beliau, sisa umurnya tinggal tiga persen lagi. Ternyata benar, tiga minggu setelah pertemuan kami itu Bapak Rudi pun meninggal dunia. Untuk merealisasikan amanat tersebut, saya mendirikan Lembaga Dakwah Mualaf (YAKIN). Program yang saya jalankan adalah dakwah door to door, menerbitkan buletin untuk disebarluaskan kepada teman dan mantan jemaat termasuk juga keluarga saya dan isteri. Bahkan dari dakwah ini kami berhasil menarik kembali masyarakat (satu dusun) di desa Purworejo yang dahulu saya murtadkan untuk kembali ke pangkuan Islam. Disamping itu banyak juga para pendeta yang masuk Islam termasuk juga beberapa majelis gereja.
Saat ini saya sering pulang pergi Jakarta-Yogyakarta karena saya memiliki kesibukan di dua wilayah ini. Di yogyakarta saya memiliki anak dan isteri, menjadi pengurus ranting Muhammadiyah, sekjen Putra Ka'bah dan Kepala Biro Litbang DPW PPP, pengurus PDHI, disamping juga disibukkan sebagai penulis buku. Diantaranya adalah: Benarkah Yesus Disalib, Muhammad dalam Taurat dan Injil, Membongkar Strategi Kristenisasi di Indonesia dan Hanya orang-orang kafir yang menyebut Yesus itu Tuhan (wacana Press).
Kisah selanjutnya dapat dibaca di majalah Hidayah edisi Juni 2004.
sumber : http://www.wattpad.com/98507-pendeta-juga-masuk-islam
http://myquran.com/forum/showthread.php/595-Kisah2-Mualaf-ed.-II/page2
KALAH BERDEBAT
Pengalaman ini berawal saat saya menjalankan misi kristenisasi yang berkedok program Kesejahteraan Masyarakat pada tahun 1978 dibawah pimpinan seorang tokoh Kristen terkenal di Yogyakarta yang belum lama meninggal (nama dirahasiakan oleh Hidayah). Walau program ini seringkali tersendat karena persoalan dana sehingga terhenti untuk beberapa saat, namun pada tahun 1988-1989 program ini dimulai kembali dan saya terlibat penuh didalamnya. Namun sekali lagi program yang sarat dengan misi kristenisasi ini pun harus gulung tikar untuk sementara waktu karena alasan yang sama. Sampai akhirnya pada tahun 1993-1995 program ini hidup kembali setelah pengelolaannya diserahkan oleh tokoh tersebut kepada saya.
Dibawah komando saya, program ini terbilang sangat sukses, banyak orang Islam yang telah kami murtadkan dengan iming-iming bantuan sosial. Hingga pada saat kami menjalankan program dengan nama Income Generating Project di kecamatan Panggang dan kecamatan Rongkop, saya mendapatkan sepucuk surat dari dari salah seorang tokoh dan pemuka agama Islam setempat yang bernama Bapak Drs. Jalal Muhsin. Didalam surat tersebut diungkapkan, bahwa kami dipersilahkan untuk membantu masyarakat miskin jika benar misi yang kami jalankan itu murni misi sosial, sedangkan Bapak Jalal Muhsin sendiri akan menggarap bidang akidah sesuai dengan yang dianut oleh masyarakat setempat yaitu Aqidah Islamiyah.
Surat yang berisi teguran halus ini saya tanggapi serius dengan meminta waktu untuk bertemu Bapak Jalal guna berdialog seputar akidah masing-masing. Akhirnya pada tanggal 23 Mei 1993 dialog pun dimulai disebuah rumah milik warga setempat. Dialog berlangsung selama tiga bulan yang mengupas seputar kebenaran al-Kitab, ajaran trinitas dan masalah-masalah ketuhanan, namun kami belum menemukan titik temu.
Karena tidak adanya titik temu inilah, akhirnya kami berdua membuat surat perjanjian yang berisi komitmen bersama, bahwa siapapun yang kalah dalam perdebatan, harus rela meninggalkan keyakinan agamanya dan masuk mengikuti agama yang memenangkan perdebatan. Perdebatan demi perdebatan telah kami lalui hingga pada akhirnya saya mengaku kalah. Menurut saya, apa yang diungkapkan oleh Bapak Jalal Mukhsin ini ternyata semua ada dalam al-Kitab. Setelah mengaku kalah dalam berdebat, saya pun akhirnya masuk Islam. Ikrar syahadat saya lakukan di KUA-Menteri Jeron Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 29 November 1993 dan dipimpin langsung oleh Bapak Jalal Mukhsin.
MENGHADAPI BADAI UJIAN
Setelah masuk Islam, saya mengganti nama menjadi Muhammad Abdullah Syahid. Konsekwensi dari keputusan saya ini, saya harus rela dibenci oleh keluarga dan jemaat saya, diputus hubungan keluarga, diusir dari rumah dan digugat cerai oleh sang isteri tercinta. Ancaman fisik dan teror gelap pun sering berdatangan menghiasi hari-hari baru saya. Untuk menyelamatkan akidah dan jiwa saya, saya harus rela hijrah ke Sumatera selatan pada akhir tahun 1993 dengan meninggalkan isteri dan anak-anak saya. Untuk biaya hijrah ke Sumsel, saya menjual gereja yang saya dirikan di Jl. Wates km 9 Yogyakarta kepada Bapak Jalal Mukhsin dengan harga satu juta untuk saat itu.
Di Sumatera saya tinggal di rumah seorang Kepala Desa Karang Agung Simpang Sumatera Selatan dan menjadi bujangan (karyawan) Pak Lurah untuk mengurus kebun dan lainnya. Kemudian saya dipercaya untuk menjadi Sekretaris Desa (Sekdes) dan diresmikan di hadapan masyarakat setempat menjadi adik angkat Bapak Kepala Dusun (Kadus). Selama berada di Sumatera Selatan (1993-1998) saya banyak aktif diberbagai ormas dan lembaga kemasyarakatan seperti aktif di HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) sebagai pembina Kuntum HKTI untuk wilayah Sumsel, menjadi ketua LKMD dan kepala sekolah SMEA persiapan AMPI.
Namun karena kerinduan kepada anak-anak dan isteri, saya memutuskan untuk kembali ke Yogyakarta pada tahun 1998. Saya mencoba mengajak isteri tercinta untuk masuk Islam, tetapi keinginan itu belum membuahkan hasil, karena untuk bertemu isteri dan anak-anak saja dibatasi, semua dijadwal oleh pihak gereja. Dengan usaha yang ulet akhirnya isteri saya memutuskan untuk ikut masuk Islam pada tanggal 23 Maret 1998. Hal itu dilakukan semata-mata demi masa depan anak-anak. Karena jika isteri menolak untuk masuk Islam, maka anak-anak akan saya bawa ke Sumatera.
Karena ketahuan masuk Islam, saya beserta isteri dan anak-anak diusir dari rumah mertua pada jam sepuluh malam disaat hujan turun. Kami pergi tanpa arah dan tujuan yang pasti, sampai akhirnya kami menemukan bekas warung yang berdindingkan gedhek (pagar bambu) yang bocor dan sangat kumuh di Jl. Wates km. 9 diwilayah dimana saya mendirikan gereja. Karena keadaan yang sangat mengenaskan ini, anak dan isteri saya sering menangis meratapi kepedihan hidup yang kami hadapi demi mempertahankan keimanan. Padahal pada saat saya dan isteri aktif menjadi pendeta dan misionaris, kami sangat bahagia dengan fasilitas dan gaji masing-masing yang tidak kurang dari 15 juta perbulannya. Namun kini semua berbalik 180 derajat. Bahkan pakaian yang kami miliki sudah tidak layak dipakai lagi karena jamuran terkena hujan akibat rumah gedhek yang bocor.
MEMULAI HIDUP BARU
Cobaan demi cobaan datang silih berganti, mungkin inilah sebagai ujian keimanan seperti yang dijelaskan oleh Allah swt. Setelah mendapatkan tempat bernaung yang sangat kumuh, saya menjual sepeda motor tua untuk membeli alat-alat dapur dan mesin jahit untuk isteri. Karena mencari pekerjaan sangat susah, maka saya rela menjadi penjaga gudang, sesuatu yang tak pernah terbayangkan dibenak saya. Kondisi ini sangat bertolak belakang dengan kondisi saat saya masih aktif menjadi pendeta dengan fasilitas dan gaji yang besar. Namun semuanya saya jalankan demi mendapatkan nafkah buat anak dan isteri.
Tetapi alangkah bersyukurnya saya ketika Bapak Sukadiono, Kepala sekolah SD Muhammadiyah 3, dan Bapak Ikhwan Ahada salah seorang guru disana membantu meringankan beban kami dengan menyekolahkan kedua puteri saya disekolah tersebut tanpa dipungut biaya sepeserpun. Untuk mencari tambahan nafkah buat keluarga, dengan kemampuan yang saya miliki, saya mencoba ikut lomba cipta lagu yang diselenggarakan oleh BP7 yang bekerja sama dengan para musisi Yogyakarta. Pada lomba ini saya mendapatkan juara I dan berhak memperoleh hadiah Rp. 2.500.000. Hadiah sebesar itu saya bagi dua dengan pembuat aransemennya. Usaha yang sama juga saya ikuti pada saat lomba cipta lagu untuk menyambut Muktamar Muhammadiyah ke 44 di Jakarta, dan alhamdulillah saya dapat meraih juara I dan berhak mendapatkan hadiah 3 juta rupiah. Namun karena kebutuhan hidup yang kian mendesak, sementara untuk makan saja masih susah, maka pada tahun 1999 saya membuka usaha ternak ayam potong untuk dijual.
RAJIN BERDAKWAH
Sekalipun telah masuk Islam, saya belum tahu apa itu Islam yang sesungguhnya. Sebab saya menyadari bahwa saya masuk Islam karena kalah berdebat, sehingga saya sering bertanya tentang apa itu Islam. Sampai akhirnya saya bertemu dengan seorang pendeta senior Bapak Rudi, rekan saya pada saat sama-sama aktif di gereja yang telah terlebih dahulu masuk Islam. Mantan pendeta Rudi mengamanatkan kepada saya agar melanjutkan misi dakwahnya, sebab kata beliau, sisa umurnya tinggal tiga persen lagi. Ternyata benar, tiga minggu setelah pertemuan kami itu Bapak Rudi pun meninggal dunia. Untuk merealisasikan amanat tersebut, saya mendirikan Lembaga Dakwah Mualaf (YAKIN). Program yang saya jalankan adalah dakwah door to door, menerbitkan buletin untuk disebarluaskan kepada teman dan mantan jemaat termasuk juga keluarga saya dan isteri. Bahkan dari dakwah ini kami berhasil menarik kembali masyarakat (satu dusun) di desa Purworejo yang dahulu saya murtadkan untuk kembali ke pangkuan Islam. Disamping itu banyak juga para pendeta yang masuk Islam termasuk juga beberapa majelis gereja.
Saat ini saya sering pulang pergi Jakarta-Yogyakarta karena saya memiliki kesibukan di dua wilayah ini. Di yogyakarta saya memiliki anak dan isteri, menjadi pengurus ranting Muhammadiyah, sekjen Putra Ka'bah dan Kepala Biro Litbang DPW PPP, pengurus PDHI, disamping juga disibukkan sebagai penulis buku. Diantaranya adalah: Benarkah Yesus Disalib, Muhammad dalam Taurat dan Injil, Membongkar Strategi Kristenisasi di Indonesia dan Hanya orang-orang kafir yang menyebut Yesus itu Tuhan (wacana Press).
Kisah selanjutnya dapat dibaca di majalah Hidayah edisi Juni 2004.
sumber : http://www.wattpad.com/98507-pendeta-juga-masuk-islam
http://myquran.com/forum/showthread.php/595-Kisah2-Mualaf-ed.-II/page2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar